Sekolah Kampung

Pelatihan Sekolah Kampung Pemberian Makan untuk Bayi dan Anak, Berbasis Pangan Lokal

Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah. Kekayaan sumber daya alam dan kesuburan tanah merupakan sesuatu yang patut kita syukuri dan kita manfaatkan secara optimal untuk pemenuhan kebutuhan serta bagi kemajuan dan kesejahteraan bangsa. Untuk dapat mengelola sumber daya alam yang melimpah tersebut tentu membutuhkan kreatifitas serta daya inovasi. Dalam pengelolaan sumber daya alam khususnya di desa memiliki tantangan tersendiri. Kualitas pendidikan yang rendah, keterbatasan akses terhadap pengetahuan (buku, teknologi informasi), keterbatasan akses transportasi, dan usaha masyarakat untuk beradaptasi terhadap pandemi saat ini tentu menjadi persoalan bersama. Masalah lainnya adalah soal braindrain, yakni orang-orang desa yang memiliki pendidikan justru menetap di kota. GEF SGP (Global Environmental Facility – Small Grants Programme) telah melaksanakan progam kerja di empat wilayah Indonesia, yakni Semau, Gorontalo, Nusa Penida, dan Wakatobi. Kerja yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kapasitas warga, membangun ketahanan pangan, serta konservasi kekayaan alam. Proyek tersebut sudah berakhir pada 2020. Hasil pengamatan dan evaluasi Terasmitra menyatakan bahwa proyek tersebut penting untuk dilanjutkan kembali. Terasmitra berinisiatif untuk melanjutkannya, dengan memilih lima komunitas yang dipandang mampu mengelola potensi desa secara berkelanjutan untuk kepentingan ketahanan pangan dan kesejahteraan (peningkatan pendapatan). Program lanjutan yang dibesut Terasmitra ini berupa pengelolaan pengetahuan dan pendidikan berbasis potensi komunitas. Terasmitra memberi nama program ini, Sekolah Kampung. Di saat pandemi seperti sekarang ini maka Sekolah Kampung memiliki misi meningkatkan kualitas gizi keluarga dengan mendorong keluarga-keluarga untuk mempelajari dan menanam panganpangan lokal untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Perempuan-perempuan akan diberdayakan khusus untuk mengetahui tentang tanaman kearifan lokal dan cara-cara olahan pangan lokal. Kelima komunitas tersebut, antara lain Kelompok Tani Dalen Mesa yang berada di Pulau Semau, Kelompok Tani Marsudi Lestatun yang berada di Desa Saritani dan Karang Taruna Juriya di Desa Juriya (Gorontalo), Rumah Baca (RUBA) Wali di Binongko (Wakatobi) dan Kelompok Lokamuda yang berada di Nusa Penida. Sebagian dari komunitas tersebut memiliki lembaga pendamping, yaitu Semau Muda mendampingi Kelompok Tani Dalen Mesa, Agraria Institut (Kelompok Tani Marsudi Lestatun), WIRE G (Karang Taruna Juriya) dan Terasmitra (Lokamuda). Yang telah betambah menjadi delapan kelompok dengan tambahan Kelompok Kahiang Mambali, Tomiya, Wakatobi, Kelompok Sekolah Noken, Sorong Selatan, Papua Bara, dan Rumah Baca Mama Inda, Villa Tangerang Elok, Tangerang, Banten.

Masalah gizi adalah masalah kesehatan masyarakat yang penanggulangannya tidak dapat dilakukan dengan pendekatan medis dan pelayanan kesehatan saja. Masalah gizi disamping merupakan sindroma kemiskinan yang erat kaitannya dengan masalah ketahanan pangan tingkat rumah tangga juga menyangkut aspek pengetahuan dan perilaku yang kurang mendukung pola hidup sehat. Gizi yang diberikan kurang seimbang akan menentukan status gizi pada anak. Hal ini dapat dikarenakan pemberian jenis makanan yang diberikan pada anak. Kandungan zat gizi dalam makanan sangat bervariasi, sehingga diperlukan pengetahuan yang baik bagi orang tua dalam menentukan jenis, jumlah dan frekuensi makanan yang akan diberikan pada anak. Sebaliknya jika pengetahuan orang tua kurang tentang kebutuhan gizi pada anak maka akan menimbulkan permasalahan gizi pada anak.

Permasalahan gizi dapat terjadi di setiap siklus kehidupan, dimulai sejak dalam kandungan (janin), bayi, anak, dewasa, dan usia lanjut. Periode dua tahun pertama kehidupan merupakan masa kritis dan pada masa ini terjadi pertumbuhan serta perkembangan yang sangat pesat.Dengan demikian, perlunya peran serta orang tua untuk mengawasi pertumbuhan dan perkembangan anak sehingga jika terdapat permasalah tentang gizi pada anak dapat terdeteksi lebih dini.

Usia anak dibawah dua tahun (anak) merupakan usia dalam masa emas periode pertumbuhan (Golden Age Periode) dimana pada usia ini sangat baik untuk pertumbuhan otak selain pertumbuhan fisik. Jika dalam masa ini perhatian kurang memadai, maka akan terganggu pertumbuhan karena beberapa faktor seperti adanya penyakit infeksi. Penyakit-penyakit infeksi yang biasa dialami anak adalah diare dan infeksi saluran pernafasan akut (ISPA). Dampak yang ditimbulkan berakibat kepada kesehatan dan tumbuh kembang.

Menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa 54% kematian anak disebabkan oleh keadaan gizi yang buruk. Di Indonesia, saat ini tercatat 4,5% dari 22 juta anak atau 900 ribu anak di Indonesia mengalami gizi kurang atau gizi buruk dan mengakibatkan lebih dari 80% kematian anak. Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia Tahun 2013, terdapat 19,6% anak kekurangan gizi yang terdiri dari 5,7% anak dengan gizi buruk,13,9% berstatus gizi kurang,dan 4,5% anakdengan gizi lebih. Jika dibandingkan dengan angka prevalensi nasional tahun 2007 (18,4 %) dan tahun 2010 (17,9 %), prevalensi kekurangan gizi pada anak tahun 2013 terlihat meningkat. Anak kekurangan gizi tahun 2010 terdiri dari 13,0% anak berstatus gizi kurang dan 4,9% berstatus gizi buruk. Perubahan terutama pada prevalensi gizi buruk yaitu dari 5,4% tahun 2007, 4,9% pada tahun 2010, dan 5,7% tahun 2013. 

Terjadinya angka kekurangan gizi pada anak ini dikarenakan kondisi sosial ekonomi warga di wilayah tersebut cukup banyak sehingga nutrisi yang didapatkan oleh anak kurang. Selain itu, rendahnya tingkat pendidikan orang tua mengakibatkan pemahaman tentang pemberian makanan pendamping ASI yang sesuai untuk anak kurang baik 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *