Mungkin kita jarang menyadari, apa yang terjadi dalam kehidupan ini bertali berkelindan. Tidak ada yang terpisah dalam alam raya. Bagi para ahli, systems thinking ialah suatu pendekatan yang holistik sifatnya dalam memahami fenomena. Dalam systems thinking, fokusnya tidak lagi elemen-elemen kecil yang saling terpisah. Namun, pada keseluruhan himpunan besar dari bagian-bagian lebih kecil dan bagaimana bagian itu saling berinteraksi dan berkaitan. Karenanya, systems thinking lebih merupakan cara pandang kita terhadap dunia dan segala di dalamnya. Dia merupakan sebuah proses pemahaman tentang bagaimana satu hal memengaruhi hal lain dari suatu keseluruhan yang besar.
Menurut Bertalanffy (1968), sistem ialah suatu kompleks kesatuan yang elemen-elemen di dalamnya saling berinteraksi, bersifat terbuka, dan selalu berhubungan dengan lingkungan sekitar. Sebagai seorang ahli biologi, Bertalanffy tentu sangat dipengaruhi kenyataan sistem sel-sel dalam tubuh makhluk hidup, yang mana tubuh itu sendiri tak ubahnya satu bagian tak terpisahkan dari kesatuan utuh ribuan elemen di dalamnya. Maka itu, sebagai sebuah gerakan kesadaran, systems thinking mengajak kita menyadari apa yang terjadi dalam alam raya ini tidak ada yang berdiri sendiri. Ada efek domino yang tidak pernah luntur dari segala peristiwa yang terjadi. Semuanya berasonansi dan berinteraksi. Teori sistem ini dilandasi asumsi bahwa di alam raya ini ada prinsip universal yang efektif mengatur organisasi kehidupan semesta, baik alam fisik, mental, biologis, maupun sosial. Jika demikian, apa pun jenis alam di mana kita hidup ini sejatinya menyatu dan berkaitan. Integrasi ilmu Pandangan sistemis di atas pada akhirnya menuntun kita pada pemahaman yang integratif terhadap sumber ilmu pengetahuan, baik ilmu kealaman maupun sosial.
Jika selama ini kita terlalu diarahkan pada spesifikasi ilmu sebagai senjata ampuh usaha pencapaian karier akademik dan prestasi lainnya yang mana pendalaman suatu subyek sangat memerlukan fokus kajian serius, systems thinking justru sebaliknya. Dia menuntut semua stakeholder pengembangan ilmu pengetahuan untuk saling berhubungan satu sama lain. Subjek pengetahuan tertentu tidak dapat dipahami mendalam tanpa pemahaman berbagai faktor yang mungkin secara kasatmata tidak tampak hubungannya. Karena itu, tidak lagi dapat dipahami saat ini bahwa fenomena natural tidak berkaitan dengan fenomena sosial. Sebagai akibatnya, usaha pendalaman kita terhadap ilmu kealaman tidaklah bisa berdiri sendiri tanpa melibatkan keilmuan sosial humaniora. Di sinilah inti dari pemandangan sistemis yang diajarkan systems thinking. Betapa pun keterpisahan seolah menguasai berbagai fenomena hasil tangkapan pancaindra kita, apa yang sejatinya terjadi ialah kesalingkaitan dan kesalingpaduan. Apa yang banyak dipromosikan sebagai integrasi ilmu pengetahuan, pada dasarnya sekadar ungkapan paraphrastic dari natijah ajaran filosofis systems thinking ini. Dengan kata lain, integrasi antarberbagai bidang ilmu pengetahuan sejatinya logical sequence dari worldview dunia yang systemic-oriented. Pendidikan nirkoneksi Dunia pendidikan kita masih jauh dari ide systems thinking. Kultur yang dibangun mengajari kita selalu memisah berbagai elemen pendidikan yang ada ketimbang berpikir integratif dan interkoneksi. Anak didik kita lebih dibiasakan memandang dunia secara positivistik. Semua yang tampak terpisah jauh dari yang tidak tampak. Bahkan, ilmu sosial dianggap sama sekali tidak ada hubungannya dengan ilmu kealaman. Seolah dunia ini hanya bisa dipahami secara parsial dari ilmu pengetahuan alam saja. Kejadian-kejadian sosiologis yang terjadi dalam masyarakat semata dipandang sebagai fenomena sosial tak menyentuh sisi apa pun dari ilmu alam/pasti. Secara umum, kita menerjemahkan terma experimental sciences semata sebagai kajian yang didasari atas riset kealaman, padahal riset-riset sosio-antropologi juga dapat dimasukkan dalam kategori ini. Ini semua dibangun atas fondasi kultur yang salah kaprah sejak lama. Menggunakan systems thinking sebagai sebuah perspektif dalam melihat dunia pendidikan pada dasarnya ialah usaha kita memahami dunia pendidikan sebagai sistem yang utuh. Semua elemen yang membentuk sistem itu dipercaya berhubungan. Jika dalam konteks pendidikan itu sistem ialah satu unit yang di dalamnya semua unsur dan elemen yang membentuk unit itu terinkorporasi secara utuh, dunia pendidikan harus dilihat dalam dimensi yang lengkap. Unsur-unsur pendidikan, seperti guru, murid, tenaga kependidikan, kurikulum, dianggap sebagai sebuah kesatuan saling bersambung dan saling memengaruhi. Ketika seorang pembelajar mengalami kegagalan, itu tidak semata karena kurikulumnya yang tidak up to date atau gurunya yang tidak mampu memahamkan pelajaran. Namun, harus dilihat dalam dimensi kesatuan unit dari sistem yang membungkusnya itu. Systems thinking adalah suatu disiplin untuk melihat segala sesuatu sebagai kesatuan utuh, demikian Peter Senge. Jika ini diterapkan dalam sistem pendidikan, paling tidak tiga unsur harus menjadi pertimbangan, yaitu unsur ontologis dari sistem yang dibangun, desain dan pengembangannya, serta aspek evaluasinya. Ketiganya harus dilihat dalam satu disiplin analisis lengkap dan inklusif. Karena itu, pendidikan bukanlah mesin pencetak pribadi yang pincang dan terbelah. Karenanya, berbagai kajian tentang aplikasi systems thinking ini dalam dunia pendidikan haruslah terus dibangun.